"KETIKA TUHAN MENCIPTAKAN SEORANG IBU"

on Minggu, 18 April 2010

Ketika itu, Tuhan telah bekerja enam hari lamanya..
Kini giliran dicptakanNya para Ibu...

Salah satu Malaikat menghampiri Tuhan dan berkata lembut: "Tuhan, banyak nian waktu yang Tuhan habiskan untuk menciptakan Ibu ini?".
Tuhan menjawab pelan, "TIDAKKAH KAU LIHAT PERINCIAN YANG HARUS DIKERJAKAN?..
Ibu itu harus waterproof (tahan air/cuci), tapi bukan dari plastik..
Ibu itu harus terdiri dari 180 bagian yang lentur, lemas, dan tidak cepat capek..
Ibu itu harus bisa hidup dari sedikit teh kental dan makanan seadanya untuk mencukupi kebutuhan anak-anaknya..
Ibu itu harus memiliki kuping yang lebar untuk menampung keluhan anak-anaknya..
Ibu itu harus memiliki ciuman yang dapat menyembuhkan dan menyejukkan hati anaknya..
Ibu itu harus memiliki lidah yang manis untuk merekatkan yang patah dan 6 pasang tangan!!..
Ibu itu harus memiliki 3 pasang mata yang harus dimiliki model dirinya!!"

Malaikat semakin heran.
Tuhan mengangguk-angguk..
Sepasang mata yang dapat menembus pintu yang tertutup rapat dan bertanya: "Apa yang kau lakukan di dalam situ?"
Padahal sepasang mata itu sudah mengetahui jawabannya.
Sepasang mata kedua sebaiknya diletakkan di belakang kepalanya, sehingga ia bisa melihat ke belakang tanpa menoleh. Artinya, Ia dapat melihat apa yang sebenarnya tak boleh ia lihat..
Dan sepasang mata ketiga untuk menatap lembut seorang anak yang mengakui kekeliruannya..
Mata itu harus bisa bicara!
Mata itu harus berkata: "Ibu mengerti dan Ibu sayang padamu".
Meskipun tidak diucapkkan sepatah kata pun..

Ibu itu harus mampu /bisa menyembuhkan diri sendiri kalau ia sakit..
Ibu itu harus bisa memberi makan 6 orang dengan 1,5 ons daging..
Ibu itu harus menyuruh anaknya umur 9 tahun mandi pada saat anak itu tidak ingin mandi..

Akhirnya malaikat membalik-balikkan contoh Ibu dengan perlahan.
"Terlalu lunak, "katanya memberi komentar..
"Tapi kuat, "kata Tuhan bersemangat..!
"Tak akan kau bayangkan betapa banyaknya yang bisa ia tanggung, pikul dan derita..
"Apakah ia dapat berfikir?" tanya malaikat..
"Ia bukan saja dapat berfikir, tapi ia juga dapat memberi gagasan, ide dan berkompromi, "kata sang pencipta..
Akhirnya malaikat menyentuh sesuatu di pipi. "eh, ada yang bocor di sini."
"Itu bukan kebocoran, " kata Tuhan..
"Itu adalah air mata... air mata kesenangan, air mata kesedihan, air mata kekecewaan, air mata kesakitan, air mata kesepian, air mata kebanggaan, air mata... air mata...,"

ah Tuhan memang AHLINYA..., "akhirnya malaikat berkata pelan sambil mengangguk takjub..

BEREBUT PERS DALAM PILKADA

on Sabtu, 10 April 2010


Beragam statement politik oleh calon kandidat, dan tim sukses nya mulai menyeruak ke publik, mengisi ruang2 kosong di setiap kolom media masa. Sanjungan terhadap calon kandidat tertentu, dan propaganda yang kadang pula melibatkan tokoh-tokoh politik nasional yang juga tak pernah terlewatkan ditampilkan di media.

Media atau pers dengan demikian ikut andil mempopulerkan calon kandidat yang boleh jadi sebelumnya tidak tenar di mata khalayak umum. Dengannya pula, pers terlibat aktif dalam permainan politik yang dimainkan oleh para politisi, meski mungkin ini jarang disadari oleh pekerja pers. Lalu dimanakah independensi dan netralitas pers?

Adalah benar, ruang advertorial pada media tentu akan dimanfaatkan oleh masing-masing calon kepala daerah untuk melakukan promosi dan penetrasi terhadap publik, sesuai dengan Pasal 76 UU No. 32/2004, bahwa kampanye calon kepala daerah dapat dilakukan melalui media cetak atau media elektronik. Menyoal independensi dan netralitas pers dari pertanyaan di atas, secara pasti akan terus merambat ke dalam pertanyaan lain yang lebih mendalam. Apakah pers menunjukkan peran yang signifikan untuk mendorong proses demokratisasi; dimana masyarakat sebagai konstituen politik utama diberi informasi yang wajar dan berimbang atas berbagai kandidat politik tersebut, lepas dari berbagai perbedaannya dengan kontestan lain? Atau kah pers akan jatuh pada suatu pemihakan atau kepada salah satu calon dengan berbagai alasan di belakangnya?

Selama ini, pers dianggap mampu bersikap objektif, independen serta netral dalam berbagai liputan. Tidak terkecuali lipuatan terhadap berbagai momentum politik penting termasuk Pilkada langsung. Fungsi pers sebagai kegiatan bisnis yang bersimbiosis dengan kepentingan para calon kepala daerah yang memerlukan media untuk menjual program dan janji-janji untuk menarik simpati publik dan mendapat dukungan pemilih sebanyak mungkin.
Padahal, peran ideal pers seyogianya harus benar-benar dapat bersikap netral, adil, seimbang dan non partisan, sehingga tidak ada kesan pers telah memihak salah satu calon pasangan kepala daerah. Netralitas ini sangat penting dijaga agar pers tidak kehilangan posisinya sebagai pilar keempat dari sistem demokrasi disamping lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Netralitas Pers, Mungkinkah??

Memang harus diakui, soal netralitas pers masih menyisakan problem pelik yang hingga kini tak jua mendapat jawaban yang memuaskan. Apa yang disebut dengan netralitas pers tidak lebih mitos belaka. Jiak mitos itu sudah diterima sebagai kebenaran absolut, sesungguhnya cara pandang masyarakat terhadap pers situ sendiri pun sudah sangat ideologis.

Artinya, masyarakat telah dikerangkeng sebuah kesadaran palsu yang sengaja ditancapkan baik oleh kalangan pelaku industri pers, pengamat yang konon mengerti dunia pers secara mendalam, maupun akademisi yang tidak membuka diri terhadap fakta empiris.

Kenetralan pers telah menjadi pandangan dominan yang membelenggu pemikiran masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari lontaran kalangan teoritisi yang berorientasi pada liberalisme yang terlanjur menjadi dogma. Bagi kalangan liberalis, pers diposisikan layaknya cermin yang mampu merefleksikan kenyataan sosial secara jujur.

Benarkah berbagai asumsi mengenai kehidupan pers seperti yang didoktrinkan kaum liberalis dapat dibuktikan kesahihannya? Ternyata, tidak! Buktinya terhadap kelompok-kelompok sosial yang mendapat ekspos secara berlebihan dari pers, dan otomatis menguntungkan posisi politiknya. Inilah yang disebut the over represented (kelompok yang mendapatkan liputan secara berlebihan).

Sebaliknya, terdapat kelompok sosial lainnya, biasanya kaum minoritas serta mereka yang dianggap menyimpang dari normalitas (the deviant) yang diekspos sedemikian sedikit serta dicitrakan negatif. Sehingga, lebih tepat apabila kita menyebut bahwa pers, atau media masa pada umumnya, bukanlah cermin dari realitas sosial, melainkan tak lebih dari representasi realitas sosial.

Dalam kasus Pilkada langsung, bukan berbagai perkara teknis pemberitaan itu yang menjadi problem utamanya. Problem pokoknya terletak pada kandidat kepala daerah yang hendak bertarung dalam arena politik. Ironisnya, mereka tidak begitu dikenal oleh kalangan masyarakat sebagai pemilih.

Populeritas kandidat pastilah tertinggal jauh dibandingkan dengan politisi tingkat nasional dan juga kaum selebritis yang memenuhi berita-berita gosip dalam tayangan infotaimen. Ini disebabkan kandidat yang bermukim di wilayah lokal sangat kecil peluangnya untuk diekspos oleh pers kecuali yang bersangkutan menjadi pejabat publik.

Disinilah, titik kritis yang akan terjadi dalam arena politik Pilkada langsung terhadao pada kemungkinan berlangsungnya jalinan kerjasama antara kandidat kepala daerah dengan pengelola redaksional dan pemilik modal dari pers lokal. Netralitas dalam pemberitaan tidak mungkin dapat direalisasikan karena pers lokal hanya dijadikan corong bagi persekutuan itu untuk mempropagandakan kepentingan-kepentingan politik mereka sendiri.

Jika pemberitaan telah dianggap sebagai wujud dari penggelaran realitas sosial, bukankah ini sama nilainya dengan membodohi publik? Bukankah public memiliki anggapan yang terlanjur mapan bahwa berita adalah fakta yang jujur dan tidak mungkin mengalami distorsi sedikitpun?

Begitu juga dengan Pesta Demokrasi Pemilihan Kepala Daerah di Bumi Bengkulu yg sebentar lagi akan di gelar di berbagai Kabupaten dan Provinsi, kita semua mengharapkan Kenetralitasan Pers dalam bersikap tidak memihak dan melakukan bentuk kampanye curang untuk kandidat lain. Kepantasan hasil Pilkada Langsung ada ditangan kita semua, 1,6 juta rakyat Provinsi Bengkulu berharap lahirnya Pemimpin-pemimpin baru yg handal, bermoral tinggi, memiliki rasa tanggungjawab yg lebih kepada persoalan mendasar rakyat provinsi Bengkulu secara utuh dan menyeluruh. Saya (Fikri Senada M, ST) mengajak kita semua untuk memilih pemimpin dengan menggunakan akal sehat dan hati nuarani kita “MEMILIH PEMIMPIN DENGAN BAIK DAN SECARA WAJAR, ITU SAMA DENGAN KITA SEDANG MEMPERSIAPAKAN MASA DEPAN GEMILANG UNTUK ANAK CUCU KIAT” ayo.. memilih dengan cerdas..

Hormat Kami,
Fikri Senada M, ST
(Putra Asli Bengkulu, Sahabat Semua Suku)