Menunggu Pemimpin Usai Pilkada

on Senin, 22 Maret 2010

Tanggungjawab pertama seorang pemimpin adalah mendefinisikan realitas, kata Max de Pree. The first responsibility of a leader is to define reality. Misalnya, masalah apa yang merundung warga kota dan kabupatenny, jika ia seorang Walikota atau Bupati. Kesulitan apa yang melilit penduduk sebuah provinsi, jika ia seorang Gubernur, dan seterusnya hingga para Menteri, Wakil Presiden dan Presiden.

Tapi bagaimana mungkin ia tahu jika ia hanya berkurung di kamar kerjanya yang megah, dan hanya memberi perintah ini itu kepada stafnya?. Pemimpin macam ini jangan-jangan ada di sekitar kita, tak hanya di pemerintahan tetapi juga di dunia swasta. Jangan-jangan juga di tubuh partai politik.

Jika boleh mengutip Henry A. Kissinger, tugas pemimpin adalah menemui penduduk yang dicekam kesulitan, kemudian secara persuasi mendorong si warga untuk keluar dari kesulitan itu. Bukan dengan bela kasihan, tetapi dengan motivasi dan proses.

Jika tidak punya kemauan politik yang populis itu, kita akan segera menyaksikan gelombang unjuk rasa masyarakat yang silih ganti berbaris-baris ke kantornya. Inilah, hubungan sebab akibat yang sangat logis dan sistematis tetapi kerap tak diinsyafi oleh para pemimpin kita.

Barangkali, di situlah perbedaan antara manajer dan seorang pemimpin. Manajer memiliki pandangan jangka pendek; pemimpin memiliki perspektif jangka panjang, syahdan begitulah Warren G. Bennis pernah berpetuah.

Jika tindakan anda mengilhami orang lain untuk bermimpi lebih banyak, belajar lebih banyak, berbuat lebih banyak dan menjadi lebih, Anda adalah seorang pemimpin yang tulen. Seorang pemimpin memiliki visi dan keyakinan bahwa mimpi dapat dicapai. Dia mengilhami kekuatan dan energi untuk menyelesaikannya.

Tak heran jika pemimpin sejati kerap sekali tampak bukan seperti seorang pemimpin. Ia merasa tak pernah menolong seseorang yang jatuh di tepi jalan. Tapi sekian tahun kemudian, seorang warga kota datang berterima kasih padanya. ”Ide-ide Anda telah membuat saya sukses,” kata si warga.

Walikota, Bupati, Gubernur dan Presiden macam itu pastilah selalu asyik dengan agenda ekonomi positif yang berinvestasi dalam inovasi dan pertumbuhan yang akan menciptakan lapangan kerja bagi warganya. Tipe pemimpin macam itulah yang kita harapkan muncul dalam Pilkada yang berlangsung di Provinsi Bengkulu pada 2010 ini.

Kadang-kadang keunikan terjadi juga. Misalnya, seorang pemimpin yang baik tetapi orang seolah-olah hampir tidak tahu dia ada. Tapi pemimpin ini selalu membuat regulasi dan memfasilitasi kehidupan sosial dan ekonomi negeri yang dipimpinnya.

Tatkala banyak warganya yang sukses oleh suasana yang diciptakannya, orang-orang merasa mereka berhasil karena ikhtiarnya sendiri. Bukan karena si pemimpin yang luar biasa! Pemimpin yang tak kemaruk membusungkan dada.

Bukan Tipe Bos

Dalam realitas memang masuk akal saja jika kita kerap sebal terhadap pemimpin yang bahkan terlalu menyadari bahwa dirinya adalah pemimpin. Kadang rada ”gila hormat” walaupun mungkin staf dan anak buahnya merasa tak ada yang patut dihormati dari dirinya. Pemimpin macam ini berbahaya, karena ia sangat sadar kepada kekuasaannya.

Repotnya pemimpin bertipe barusan tidak tahu sama sekali kapan ia diinginkan, dan kapan ia harus meninggalkan kursinya. Dalam konteks Indonesia, itulah antara lain kesalahan Soeharto yang berkuasa nyaris 32 tahun. Tragisnya, ia kemudian dilengserkan oleh pasar politik dan pasar ekonomi yang tidak lagi menghendakinya.

Kontroversi dan kompleks kejiwaan yang rada bersamaan juga diidap oleh para calon pemimpin. Selama inim mungkin ia berada di pentas civil society dan gemar melancarkan kritik. Nah, ketika menjadi pemimpin, sebutlah menjadi Walikota atau Bupati, situasinya sudah berbeda. Dari anda yang dibutuhkan bukan kritik. Tapi solusi.

Ketika datang berkantor ke Balai Kota, karena Anda seorang Walikota, saya membayangkan Andan merasa bukan seorang Walikota. Tapi seorang demokrat karena bukankah Anda terpilih karena proses demokrasi? So, berjiwa besarlah menerima kritik, yang juga merupakan bagian dari demokrasi.

Babak berikutnya, Anda kemudian menunjukkan jalan keluar atas berbagai kritik dan masalah yang mencuat. Pemimpin yang sebenarnya tidak perlu tampak seperti pemimpin. Tapi ia sudah lega jika berhasil menunjukkan jalan kepada penduduknya.

Memang di masa lalu pada rezim yang otoriter seorang pemimpin adalah seorang bos. Tipe ini memang mengidap gejala kejiwaan yang aneh karena hanya mengenal dua pasal. Pasal pertama, bos tidak pernah salah. Pasal kedua, jika bos salah, ingat pasal satu. Busyet.
Padahal, seperti kata Ken Blanchard, pemimpin hari ini haruslah menjadi partner berbagai pihak. Ya, LSM, parpol, dunia usaha, wong cilik, DPRD, dan lainnya. Apa boleh buat, akan sangat sulit seorang Walikota atau Bupati yang tidak mendapat dukungan dari partai politik sebagai jelmaan dari kedaulatan rakyat.

Tak pelak, seorang pemimpin sejati harus memiliki kebijakan pintu terbuka supaya orang tidak takut untuk mendekatinya dengan alasan apapun. Lagi pula aneh, karena bahkan kamar kerja, gaji dan berbagai fasilitas yang anda nikmati justru berasal dari pajak-pajak yang dibayarkan rakyat. Mengapa malah menghindar dari rakyat?

Sudah barang tentu masyarakat pun membutuhkan pemimpin yang bila perlu tampil kontroversial menghadapi masalah-masalah yang luar biasa. Tak cuma berpikir dab vertindak normatif dan standar saja, khususnya ketika keadaan darurat gawat yang sangat mendesak.

Misalnya, mengeluarkan biaya untuk korban bencana alam yang mendesak dilakukan walaupun alokasi dananya sudah habis. Toh, bisa diajukan dalam Perubahan APBD, ketimbang membiarkan rakyat sengsara, bukan?

Kadang, seorang pemimpin dalam menghadapi situasi krisis bertindak dengan cara improvisasi, dan belakangan memikirkan alasan untuk tindakannya itu, seperti Jawaharlal Nehru.